Rabu, 14 September 2016

Kepala Sekolah Sebagai Pengambil "Tunggal" Keputusan atau Kebijakan Apapun di Sekolah


Mempertanggungjawabkan sebuah keputusan atau kebijakan yang telah diambil oleh seseorang apapun profesi yang bersangkutan (PNS, bukan PNS, atau jabatan formal apapun) kepada negara, masyarakat, terlebih kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan sesuatu yang berat atau ringan. Merupakan sesuatu yang berat jika keputusan atau kebijakan tersebut berlabel atau berlumuran dosa. Sebaliknya, akan menjadi sangat ringan jika keputusan atau kebijakan tersebut tidak membuahkan dosa apapaun karena keputusan dimaksud benar menurut perspektif apapun (hukum negara, moral, dan agama).

Jika tanggung jawab seorang Kepala Sekolah sebagai pengambil keputusan atau kebijakan di sekolah dianalisis secara tajam dari berbagai perspektif benar-salah menurut agama, hukum, dan moral, sungguh mereka berada dan selalu berhadapan dengan alur mainstream penuh dosa . Ada setidaknya 2 (dua) alasan mengapa "penuh dosa"

Pertama, sumber hukum formal (UU, PP, Perpres, Permendikbud, SK Gubernur/Bupati dll) sebagai dasar seorang Kepala Sekolah membuat suatu keputusan secara "fitrah" selalu saja memiliki kekurangan atau keterbatasan saat harus diterjemahkan secara "zakelijk yuridis". Hal ini wajar karena sebagai produk "manusia", sumber hukum formal memang tak mungkin sempurna dan final.

Nah, untuk mengatasi hal "cacat" semacam itu, Kepala Sekolah akhirnya harus membuat kebijakan. Secara yuridis formal, sebuah kebijakan tentu merupakan pelanggaran hukum karena secara material tidak pernah diatur dalam sumber hukum tersebut. Kebijakan mengurangi intensitas sejumlah kegiatan yang sudah diprogramkan dalam RPS/RKAS agar seluruh atau sebagian budgetnya bisa dialihkan untuk belanja lain yang sebenarnya bersifat non-edukatif seperti membeli seragam batik, pakaian seragam harian, kaos olah raga, biaya wisata guru/karyawan, biaya silaturahmi, dan semacamnya merupakan contoh "kebijakan" yang secara kasat mata melanggar sumber hukum formal.

Kedua, sumber "hukum" non formal (instruksi, pendapat, asumsi, dll) atasan seperti Bupati, Walikota, Kepala Dinas Pendidikan, dll sebagai dasar seorang Kepala Sekolah membuat suatu keputusan atau kebijakan di sekolahnya mengandung kekurangan atau keterbatasan yang lebih besar dan lebih fatal dari sumber hukum formal. Repotnya, sebagai personal terendah dari struktur birokrasi di jajaran pemerintahan daerah, seorang Kepala Sekolah mau tidak mau (maaf, harus mau malah maksudnya) wajib mengikuti kebijakan para atasannya. Ketika kebijakan atasannya tersebut dirasa melanggar aturan formal menurut persepsi Kepala Sekolah tersebut, tak pernah ada Kepala Sekolah yang berani mengambil sikap tidak taat.

Kalaupun ada Kepala Sekolah yang berani melakukan tindakan yang benar dengan menyampaikan masukan atau saran atas penemuan bau pelanggaran terhadap suatu aturan formal kepada sang atasan, pengalaman menunjukkan Kepala Sekolah yang "pemberani dan benar" dimutasi ke sekolah lain yang berada di suatu letak geografis yang sangat kurang diminati oleh mereka ( misalnya di daerah terpencil, lereng gunung, dan semacamnya). Kebijakan atasan seperti "isue" bahkan "guyonan" pejabat tertentu agar PNS di daerahnya membeli bahan baju batik di toko "anu" atau di tempat "anu" pasti akan dipatuhi dengan taklid oleh Kepala Sekolah. Pendek akata setiap kehendak semua atasannya tanpa memandang benar atau salah, pokoknya harus ditaati. Meskipun diberi tahu atau tahu sendiri (tak ada Kepala Sekolah "bodoh") bahwa toko "anu" atau tempat "anu" tersebut adalah milik saudara si pejabat atau dalam konteks lain toko atau tempat "anu" itu memberi fee besar kepada si pejabat tersebut, menurut pengalaman biasanya para Kepala Sekolah biasanya hanya tersenyumsaja atau mengalihkan pembicaraan saat misalnya dikonfirmasi oleh bawahannya (guru) yang "kritis".

Jelas dan teramat terang benderanglah bahwa sebagai pengambil "tunggal" keputusan atau kebijakan apapun di sekolah (edukatif maupun non edukatif), seorang Kepala Sekolah selalu berada dan berhadapan dalam alur mainstream penuh dosa. Penuh dosa karena melanggar agama. Maka, bagi guru yang ingin bahkan bernafsu menjadi Kepala Sekolah karena ingin menambah "keren", "prestise", atau hal semacam lainnya yang tidak cerdas dan sangat tidak substansial, menurut saya, urungkan saja niat dan nafsu anda. Jadilah guru yang profesional dan terus tetap bersahaja saja. Selamat berjuang, para guru profesional negeri ini, anda tetap bermartabat tanpa harus menjadi Kepala Sekolah.


Sumber asli:
http://www.kompasiana.com/ivansieswanto/himbauan-guru-jangan-menjadi-kepala-sekolah_550e22b6813311c12cbc621a

 
bloging tips