Mempertanggungjawabkan sebuah
keputusan atau kebijakan yang telah diambil oleh seseorang apapun profesi yang
bersangkutan (PNS, bukan PNS, atau jabatan formal apapun) kepada negara,
masyarakat, terlebih kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan sesuatu yang berat
atau ringan. Merupakan sesuatu yang berat jika keputusan atau kebijakan
tersebut berlabel atau berlumuran dosa. Sebaliknya, akan menjadi sangat ringan
jika keputusan atau kebijakan tersebut tidak membuahkan dosa apapaun karena
keputusan dimaksud benar menurut perspektif apapun (hukum negara, moral, dan
agama).
Jika tanggung jawab seorang Kepala
Sekolah sebagai pengambil keputusan atau kebijakan di sekolah dianalisis secara
tajam dari berbagai perspektif benar-salah menurut agama, hukum, dan moral,
sungguh mereka berada dan selalu berhadapan dengan alur mainstream penuh dosa .
Ada setidaknya 2 (dua) alasan mengapa "penuh dosa"
Pertama, sumber hukum formal (UU, PP, Perpres, Permendikbud, SK
Gubernur/Bupati dll) sebagai dasar seorang Kepala Sekolah membuat suatu
keputusan secara "fitrah" selalu saja memiliki kekurangan atau keterbatasan
saat harus diterjemahkan secara "zakelijk yuridis". Hal ini wajar
karena sebagai produk "manusia", sumber hukum formal memang tak
mungkin sempurna dan final.
Nah, untuk mengatasi hal
"cacat" semacam itu, Kepala Sekolah akhirnya harus membuat kebijakan.
Secara yuridis formal, sebuah kebijakan tentu merupakan pelanggaran hukum
karena secara material tidak pernah diatur dalam sumber hukum tersebut.
Kebijakan mengurangi intensitas sejumlah kegiatan yang sudah diprogramkan dalam
RPS/RKAS agar seluruh atau sebagian budgetnya bisa dialihkan untuk belanja lain
yang sebenarnya bersifat non-edukatif seperti membeli seragam batik, pakaian
seragam harian, kaos olah raga, biaya wisata guru/karyawan, biaya silaturahmi,
dan semacamnya merupakan contoh "kebijakan" yang secara kasat mata
melanggar sumber hukum formal.
Kedua, sumber "hukum" non formal (instruksi, pendapat,
asumsi, dll) atasan seperti Bupati, Walikota, Kepala Dinas Pendidikan, dll
sebagai dasar seorang Kepala Sekolah membuat suatu keputusan atau kebijakan di
sekolahnya mengandung kekurangan atau keterbatasan yang lebih besar dan lebih
fatal dari sumber hukum formal. Repotnya, sebagai personal terendah dari
struktur birokrasi di jajaran pemerintahan daerah, seorang Kepala Sekolah mau
tidak mau (maaf, harus mau malah maksudnya) wajib mengikuti kebijakan para
atasannya. Ketika kebijakan atasannya tersebut dirasa melanggar aturan formal
menurut persepsi Kepala Sekolah tersebut, tak pernah ada Kepala Sekolah yang
berani mengambil sikap tidak taat.
Kalaupun ada Kepala Sekolah yang
berani melakukan tindakan yang benar dengan menyampaikan masukan atau saran
atas penemuan bau pelanggaran terhadap suatu aturan formal kepada sang atasan,
pengalaman menunjukkan Kepala Sekolah yang "pemberani dan benar"
dimutasi ke sekolah lain yang berada di suatu letak geografis yang sangat
kurang diminati oleh mereka ( misalnya di daerah terpencil, lereng gunung, dan
semacamnya). Kebijakan atasan seperti "isue" bahkan
"guyonan" pejabat tertentu agar PNS di daerahnya membeli bahan baju
batik di toko "anu" atau di tempat "anu" pasti akan
dipatuhi dengan taklid oleh Kepala Sekolah. Pendek akata setiap kehendak semua
atasannya tanpa memandang benar atau salah, pokoknya harus ditaati. Meskipun
diberi tahu atau tahu sendiri (tak ada Kepala Sekolah "bodoh") bahwa
toko "anu" atau tempat "anu" tersebut adalah milik saudara
si pejabat atau dalam konteks lain toko atau tempat "anu" itu memberi
fee besar kepada si pejabat tersebut, menurut pengalaman biasanya para Kepala
Sekolah biasanya hanya tersenyumsaja atau mengalihkan pembicaraan saat misalnya
dikonfirmasi oleh bawahannya (guru) yang "kritis".
Jelas dan teramat terang
benderanglah bahwa sebagai pengambil "tunggal" keputusan atau
kebijakan apapun di sekolah (edukatif maupun non edukatif), seorang Kepala
Sekolah selalu berada dan berhadapan dalam alur mainstream penuh dosa. Penuh
dosa karena melanggar agama. Maka, bagi guru yang ingin bahkan bernafsu menjadi
Kepala Sekolah karena ingin menambah "keren", "prestise",
atau hal semacam lainnya yang tidak cerdas dan sangat tidak substansial,
menurut saya, urungkan saja niat dan nafsu anda. Jadilah guru yang profesional
dan terus tetap bersahaja saja. Selamat berjuang, para guru profesional negeri
ini, anda tetap bermartabat tanpa harus menjadi Kepala Sekolah.
Sumber asli: