Ada banyak teropong ilmu Islam yang bisa dijadikan alat untuk melihat
potensi dan faktor yang menjadi landasan bahwa Islam merupakan ajaran
yang abadi, kekal dan indah.
Fiqh merupakan salah satu disiplin
ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan dan kesempurnaan Islam.
Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha menunjukkan betapa
Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan
berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah
yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; Agama,
akal, jiwa, harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki
filosofi dan tujuan yang jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir
zaman.
A. Pengertian Fiqh:
a. Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku". Thaha:27-28
Pengertian fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud:91, Surah At Taubah:122, Surah An Nisa: 78
b. Fiqh dalam terminologi Islam:
Dalam
terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang
dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di
genersi kemudian, karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut
versi masing-masing generasi;
1. Dalam terminologi generasi Awal
Dalam
pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in
dst.), fiqh berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh,
sebagaimana tersebut dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda
Rasulullah SAW:
"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang
mendengar suatu hadist dariku, maka ia mentghapalkannya kemuadian
menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang
menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih
menguasainya dan banyak banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia
bukan seorang Faqih". HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah
Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:
"Ya Allah berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir". HR Bukhari Muslim
Dalam
penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah
SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif,
ia berkata:
"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para
cendekiawan kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun". HR Bukhari
Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan
khutbah yang penting pada para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf
mengusulkan untuk menundanya, karena dikalangan jama'ah bercampur
sembarang orang, ia berkata:
"khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)". HR Bukhari
Makna
fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi
sahabat, tabi'in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu
Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan "al Fiqh al
Akbar". Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan makna
istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu
hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan
akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit
sedangkan Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan
menyianyiakan norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta
tetapi sedikit yang memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan
sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal". HR Malik
Lebih
jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al
Syari'ah Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan:"Istilah fiqh menurut
generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk
beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia,
dan aku tidak mengatakan (kalau) kalau fiqh itu sejak awal hanya
mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja"ii.
Demikian
juga Ibnu Abidin, beliau berkata:"Yang dimaksud Fuqaha adalah
orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam I'tikad dan
praktek, karenanya penamaan ilmu Furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang
baru"iii. Definisi ini diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al
Bashri:"Orang faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan
akhirat, memahami agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya,
bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta'afuf
terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya".
2. Fiqh dalam terminologi Mutaakhirin:
Dalam
terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu yaitu:"mengetahui hukum
Syara' yang bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci Syarah
definisi ini adalah:
- Hukum Syara': Hukum yang diambil yang diambil
dari Syara'(al Qur'an dan as Sunnah), seperti; Wajib, mandub, haram,
makruh dan mubah.
- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan
-
Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa
Aqiimus sholaah", bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh.
Dengan
definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat
dharuriah (aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya
hamr, dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah
menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus
dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?
Lebih
spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan
definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu
dengan berlandaskan hujjah dan argumen.
B. Hubungan Fiqh dan Syari'ah
Setelah
dijelaskan pengertian fiqh dalam terminologi mutakhirin yang kemudian
populer sekarang, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antar Fiqh dan
Syari'ah adalah:
1. Bahwa ada kecocokan antara Fiqh dan Syari'ah
dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas
dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu
mantiq disebut "'umumun khususun min wajhin" yakni; Fiqh identik dengan
Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada
sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup
hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas
dari Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan
ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat
terdahulu.
2. Syariah sangat lengkap; tidak hanya berisikan
dalil-dalil furu', tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan
prinsif-prinsif dasar dari hukum syara, seperti; Ushul al Fiqh dan al
Qawa'id al Fiqhiyyah.
3. Syari'ah lebih universal dari Fiqh.
4.
Syari'ah wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia sehingga kita
wajib mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian
halnya.
5. Syari'ah seluruhnya pasti benar berbeda dengan fiqh.
6. Syari'ah kekal abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah.
C. Patokan-patokan dalam Fiqh:
Dalam mempelajari fiqh, Islam telah meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin, yaitu :
1. Melarang membahas peristiwa yang belum terjadi sampai ia terjadi.
Sebagaimana
Firman Allah Ta'ala : "Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu
menanyakan semua perkara, karena bila diterangkan padamu, nanti kamu
akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menayakan itu ketika turunnya
al-qur'an tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah
diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampunlagi penyayang". QS.
Al-Maidah: 101
Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi Saw.
telah melarang mempertanyakan "Aqhluthath" yakni masalah-masalah yang
belum lagi terjadi.
2. Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik.
Dalam sebuah hadits di katakan: "sesungguhnya Allah membenci banyak debat banyak tanya dan menyia-nyiakan harta".
"Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan,
dan telah menggariskan undang-undang, maka jangan dilampui,
mengaharamkan beberapa larangan maka jangan dlannggar, serta mendamkan
beberapa perkara bukan karena lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka
janganlah dibangkit-bangkit ! "
"Orang yang paling besar dosanya
ialah orang yang menanyakan suatu hal yang mulanya tidak haram, kemudian
diharamkan dengan sebab pertanyaan itu".
3. Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama.
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala :
"Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !".(QS Ali Imran 103).
Dan
firmanNya : "janganlah kamu berbantah-bantahan dan jangan saling
rebutan nanti kamu gagal dan hilang pengaruh !" (QS al-anfal 46). Dan
firmanNya lagi :"Dan janganlah kamu seperti halnya orang-orang yang
berpecah belah dan bersilang sengketa demi setelah mereka menerima
keterangan-keterangan ! dan bagi mereka itu disediakan siksa yang
dahsyat QS. Ali Imran 105
4. Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah.
Berdasarkan firman Allah SWT:
"Maka
jika kamu berselisih tentang sesuatu perkara, kembalilah kepada Allah
dan Rasul". (QS. An Nisa 9). Dan firman-Nya :"Dan apa-apa yang kamu
perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah". (QS. Asy
Syuro 10).
Hal demikian itu, karena soal-soal keagamaan telah diterangkan oleh Al-qur'an, sebagaimana firman Allah SWT :
"Dan kami turunkan Kitab Suci Al-qur'an untuk menerangkan segala sesuatu. (QS. An-Nahl 89).
Begitu
juga dalam surah: Al-An'am 38, An-Nahl 44 dan An-Nisa 105, Allah telah
menjelaskan keuniversalan al Qur'an terhadap berbagai masalah kehidupan.
Sehingga dengan demikian sempurnalah ajaran Islam dan tidak ada
lagi alasan untuk berpaling kepada selainnya. Allah SWT berfirman :
"Pada
hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu, telah Ku cukupkan ni'mat
karunia-Ku dan telah Ku Ridhoi Islam sebagai agamamu". (QS. Al Maidah
5).
Dan firman Allah SWT:
"Tidak ! Demi Tuhan ! mereka belum lagi
beriman, sampai bertahkim padamu tentang soal-soal yang mereka
perbantahkan kemudian tidak merasa keberatan didalam hati menerima
putusanmu, hanya mereka serahkan bulat-bulat kepadamu". (QS. An-Nisa 66)
D. Sejarah perkembangan Fiqh dan meredupnya
1. Fiqh di zaman generasi awal
Dengan
berpedoman pada patokan-patokan tersebut diatas, majulah para shahabat
dan beberapa generasi di belakang mereka selama beberapa abad dan
menghasilkan kebaikan yang telah kita saksikan, dan tiada perbedaan di
antara mereka dalam patokan-patokan di atas dan manhaj, kecuali mengenai
pemahaman terhadap nash yang disebabkan oleh kemampuan dan latar
belakang yang berbeda dalam memahami Ilat (alasan) hukum, dan karena
sebagian diantara mereka mendapatkan dalil sementara yang lain belum
mendapatkannya.
Dan ketika datang imam-imam yang berempat, mereka
mengikuti tradisi generasi yang sebelum mereka, hanya sebagian diantara
mereka ada yang lebih dekat kepada Sunah, seperti; penduduk Hijaz (Ahl
Hadist) yang kebanyakan pendukungnya para perowi hadits, sementara
sebagian lagi lebih dekat kepada rasio atau pikiran (Ahl Ra'y), seperti;
orang-orang Irak yang tidak banyak di jumpai dikalangan mereka
penghafal-penghafal hadits disebabkan jauhnya tempat mereka dari tempat
diturunkannya wahyu.
Imam-imam tersebut telah mencurahkan segala
kemampuan yang ada pada mereka untuk memperkenalkan agama ini dan
membimbing manusia dengannya, dan mereka larang orang-orang bertaklid
atau mengikut secara membabi buta tanpa mengetahui dalil atau alasannya.
Mereka mengatakan: "Tidak seorang pun boleh mengikuti pendapat kami
tanpa mengetahui alasan kami". Mereka tegaskan bahwa mazhab mereka
adalah hadits yang sohih, karena mereka tidak ingin diikuti begitu saja
sebagaimana halnya orang ma'shum, yakni; Nabi SAW.
Ketika
patokan-patokan diatas dipegang dengan konsisten, maka terjadinya
perbedaan diantara para fuqoha, justru membuat dinamis dan fleksibelnya
ilmu fiqh. Perbedaan diantara murid dan guru tidak tabu; Ibnu Abbas
banyak berbeda pendapat dengan Ali, Umar, Zaid bin Tsabit, padahal
mereka adalah guru-gurunya.
Para fuqoha tabi'in banyak yang berbeda
pendapat dengan para sahabat, Imam Malik terkadang berbeda pendapat
dengan guru-gurunya yang tabi'in, tabiut tabi'in terkadang berbeda
pendapat dengan guru-gurunya; Imam Abu dengan Ja'far as Shadiq, Imam Syafi'i dengan Imam Malik, Imam Ahmad dengan Imam Syafi'i dst.
Perbedaan-perbedaan itu tidak sampai melahirkan malapetaka dan
gontok-gontokan. Kondisi seperti itu berlangsung sampai abad empat
hijrah.
2. Redupnya Ilmu Fiqh
Pasca para Imam mujtahid, terjadilah kemerosotan ilmu fiqh. Secara ringkas ada beberapa faktor yang meredupkan ilmu fiqh;
a. Taqlid
Orang-orang
yang muncul sesudah para imam yang empat, kemauan mereka untuk
berijtihad jadi kendor, sebaliknya bangkit naluri meniru dan bertaklid,
hingga setiap golongan diantara mereka merasa cukup dengan mazhab
tertentu yang akan diperdalam, diandalkan dan dipegang secara fanatik.
Mereka
mencurahkan segala tenaga untuk membela dan mempertahankannya, dan
perkataan imam menjadi seperti firman Allah SWT, dan mereka tiada berani
mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah bila bertentangan dengan
kesimpulan yang telah ditarik oleh imam mereka.
Bahkan kultus
terhadap imam-imam itu demikian mencolok dan berlebihan, sampai-sampai
Karkhi mengatakan :"Setiap ayat atau hadits yang menyalahi pendapat
shahabat-shahabat itu kita hendaklah ditakwilkan atau dinasah".
Dan
dengan bertaklid dan ta'asub kepada mazhab-mazhab ini, hilanglah
kesempatan umat untuk beroleh petunjuk dari Kitab dan Sunah, timbul pula
pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dan jadilah
pendapat-pendapat fukoha yang dikatakan syari'at, dan orang yang
menyalahi ucapan-ucapan fukoha itu dipandang ahli bid'ah hingga
ucapannya itu tak dapat dipercaya dan fatwanya tak boleh diterima.
b. Pelembagaan madzhab-madzhab
Diantara
faktor-faktor yang membantu tersebarnya semangat tradisonal ini ialah
usaha yang di lakukan oleh para hartawan dan pihak penguasa dalam
mendirikan sekolah-sekolah dimana pengajarannya terbatas pada suatu atau
beberapa mazhab tertentu yang menyebabkan tertujunya perhatian para
fuqoha terhadap mazhab-mazhab tersebut, dan berpalingnya minat dari
berijtihad, karena mempertahankan gaji yang jadi nafkah hidup mereka.
Sebagai
akibat dari tenggelam dalam taklid dan meninggalkan al Qur'an dan as
Sunnah, umat Islam terpecah belah dalam golongan-golongan, hingga mereka
berselisih paham tentang hukum nikahnya seseorang bermazhab Hanafi
dengan pria bermazhab Syafi'i. Berkatalah sebagian mereka: "Tidak sah,
karena wanita itu bersikap ragu-ragu dalam keimanannya "Karena pengikut-
pengikut mazhab Hanafi membolehkan seseorang muslim itu mengatakan:
"Saya beriman, Insya Allah". Sedang lainnya mengatakan itu boleh, dengan
alasan mengqiaskannya kepada wanita golongan ahli Zimmah.
Sebagian
akibat dari kondisi diatas, tersebarnya bid'ah dan terpendamnya
panji-panji Sunah, melempemnya gerakan akal dan terhentinya kegiatan
berpikir serta hilangnya kebebasaan berilmu, suatu hal yang menyebabkan
lemahnya kepribadian umat dan lenyapnya kehidupan berkarya serta
terhambatnya kemajuan dan perkembangan hingga orang-orang pihak luarpun
melihat celah dan lubang untuk dapat menembus memasuki jantung Islam.
Dan
akhirnya Fiqih, yang sebenarnya Allah SWT menjadikannya sebagai senjata
muslim untuk menghadapi kehidupan dunia maupun akhirat, mengalami
kebobrokan yang belum ada taranya, hingga berkhidmah padanya lebih
banyak menanamkan dengki dan permusuhan, merusak hati dan persatuan
umat. Para ulamanya hanya berkutat menghafakan matan, dan tidak mengenal
kecuali istilah-istilah atau catatan-catatan lampiran bersama
pendapat-pendapat yang dikemukakan serta sanggahannya, hingga akhirnya
Eropa pun menerkam dunia Islam.
Kemudian sebagai akibat yang tak dapat dielakan, hukum dan budaya asing itulah yang menguasai kehidupan dunia Islam.
Dan
kemudian suasana di benua Eropa itulah yang mewarnai rumah-rumah,
jalan-jalan, sekolah-sekolah, perguruan-perguruan dan tempat-tempat
pertemuan kaum muslimin. derasnya arus dan gelombang sekulerisme Eropa
semakin kuat hingga dunia Islam; ulama, ormas dan institusi-institusi
Islam pun hampir lupa kepada ajaran agamanya; tidak heran jika mereka
beramai-ramai menolak syari'at Islam, seperti; mpenolakan terhadap
piagam Jakarta di Indonesia.
E. Urgensi mempelajari :
Fiqh yang
pembahasannya mencakup; masalah-masalah ibadat, seperti; Sholat, shaum,
zakat, haji, dsb. Dan masalah-masalah muamalat, seperti; pernikahan,
jual beli, peradilan, dsb sangat penting untuk dipelajari, supaya kita;
1. Beribadah dan bermuamalah atas dasar ilmu dan landasan syar'i yang jelas.
2. Untuk mendapatkan kepastian hukum syara' dalam permasalahan-permasalahan baru
3. Untuk menjawab berbagai tuduhan minor terhadap ajaran Islam umumnya dan fiqh pada khususnya.
________________________________________
Referensi:
i Dr. Sulaiman al Asyqor, Tarikh al Fiqh al Islami, Maktabah al Falah, al Kuwait, 9 - 11
ii Shadr al Syari'ah, Kitab Al Taudhih 'ala al Tanqih, 1;78
iii Ibnu Abidin, Hasyiyah Ibnu Abidin, al Mathba'ah al Mishriah, 1272, 1:26
iv Shadr al Syari'ah , Loc. Cit
v Dr. Sulaiman al Asyqar, Op. Cit, hal. 18 - 20
vi Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Maktabah al Khadamat al Haditsah, Jiddah, 1:12-13
vii Sayyid Sabiq, Ibid, hal. 14 – 17